JAKARTA - Keberadaan dan peran Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan menjadi faktor penentu dalam implementasi Keputusan Menteri ESDM Nomor 391 Tahun 2025. Kepmen tersebut secara eksplisit menugaskan satgas ini untuk melaksanakan penagihan denda administratif atas kegiatan usaha pertambangan di kawasan hutan. Mandat ini menunjukkan kepercayaan pemerintah terhadap kapabilitas satgas dalam menangani kasus-kasus kompleks yang melibatkan tumpang tindih kewenangan.
Pembentukan satgas ini sendiri didasarkan pada surat dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus selaku Ketua Pelaksana, yang menandakan pendekatan penegakan hukum yang serius dan melibatkan lembaga penegak hukum. Komposisi lintas lembaga dalam satgas memungkinkan koordinasi yang lebih baik antara Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kejaksaan, dan mungkin juga institusi lainnya. Pendekatan kolaboratif ini penting mengingat akar masalahnya seringkali terletak pada koordinasi data dan kewenangan.
Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menjelaskan bahwa aturan denda ini berlaku khusus untuk penindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Satgas tersebut. Ini memberikan kerangka hukum yang jelas bagi satgas untuk bertindak dan menghindari tumpang tindih kewenangan dengan institusi lain. Dengan demikian, satgas memiliki landasan operasional yang kuat dan akuntabel dalam menjalankan tugasnya.
Baca Juga: Audit Lingkungan Ungkap Fakta Pahit: Kayu Bekas Pembukaan Hutan Memenuhi Aliran Banjir
Mekanisme kerja satgas akan mencakup identifikasi pelanggaran, verifikasi lapangan, penghitungan besaran denda berdasarkan luas hektare yang terdampak, hingga proses penagihan. Seluruh hasil penagihan yang berhasil dikumpulkan akan disetorkan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak di sektor ESDM, memberikan akuntabilitas keuangan yang transparan. Proses ini membutuhkan kapasitas teknis, integritas, dan ketegasan yang tinggi dari anggota satgas.
Tantangan terbesar satgas mungkin terletak pada konsistensi penegakan di seluruh wilayah Indonesia, mengingat sebaran lokasi pertambangan yang sangat luas dan seringkali di daerah terpencil. Selain itu, tekanan dari kepentingan ekonomi lokal dan perusahaan-perusahaan besar juga dapat menjadi ujian bagi netralitas dan keteguhan satgas dalam menegakkan aturan. Dukungan politik dan sumber daya yang memadai dari pemerintah pusat menjadi krusial.
Di luar fungsi penagihan denda, keberadaan satgas ini diharapkan memiliki efek preventif. Pengetahuan bahwa ada satgas khusus yang aktif memantau dan menindak dapat mendorong perusahaan untuk melakukan penyesuaian operasi secara sukarela sebelum diperiksa. Efek jera ini pada akhirnya lebih diharapkan daripada banyaknya denda yang berhasil ditagih.
Dengan demikian, Satgas Penertiban Kawasan Hutan bukan hanya sekadar pelaksana teknis, tetapi juga simbol komitmen negara terhadap penataan ulang tata kelola sumber daya alam. Keberhasilannya akan diukur dari seberapa jauh ia dapat mengurangi praktik pertambangan ilegal di hutan dan memulihkan kedaulatan negara atas pengelolaan kawasan hutannya. Langkah ini merupakan tes bagi kapasitas birokrasi Indonesia dalam menyelesaikan masalah governance yang pelik.