Jakarta - Keberhasilan program tanggap darurat “HK Peduli” dari PT Hutama Karya (Persero) di wilayah Sumatra yang terdampak bencana hidrometeorologi tidak lepas dari kekuatan kolaborasi yang dibangun dengan berbagai pihak. Mardiansyah, Executive Vice President Sekretaris Perusahaan Hutama Karya, menekankan bahwa kehadiran BUMN dalam bencana adalah bagian dari ekosistem penanggulangan nasional yang melibatkan banyak aktor. Oleh karena itu, sejak awal, Hutama Karya mendesain intervensinya untuk bersinergi dan memperkuat kapasitas institusi pemerintah daerah serta unsur keamanan yang telah lebih dulu berada di lapangan. Model kemitraan tiga pilar ini—BUMN, Pemerintah Daerah, dan TNI/Polri—menjadi kunci kelancaran dan efektivitas seluruh aksi kemanusiaan yang dilakukan.
Pilar pertama, yaitu pemerintah daerah, diwakili terutama oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di setiap kabupaten/kota dan tingkat provinsi. BPBD berperan sebagai command center operasional di lapangan yang memiliki data terdampak, peta kebutuhan, dan otoritas penyaluran. Hutama Karya secara aktif berkoordinasi dengan BPBD untuk menentukan lokasi pendirian posko, titik penyaluran bantuan logistik, serta lokasi yang paling membutuhkan alat berat dan jembatan darurat. Seperti di Aceh, mobilisasi alat berat dan penyiapan jembatan bailey dilakukan sepenuhnya berdasarkan arahan dan identifikasi kebutuhan dari BPBD Aceh.
Pilar kedua adalah unsur TNI dan Polri, yang menjadi kekuatan utama dalam aspek keamanan, logistik, evakuasi, dan tenaga kerja di lapangan. Di posko evakuasi Hutama Karya di Rest Area KM 41 B, Ruas Tol Binjai–Langsa, personel TNI/Polri terlibat langsung dalam operasional sehari-hari. Mereka membantu menjaga ketertiban, mendistribusikan bantuan, hingga memastikan keamanan para pengungsi dan relawan. Keterlibatan mereka memberikan rasa aman dan memungkinkan operasi kemanusiaan berjalan dalam kondisi yang tertib dan terkoordinasi.
Pilar ketiga adalah Hutama Karya sendiri sebagai representasi BUMN, yang berkontribusi dengan sumber daya spesifik: infrastruktur, peralatan berat, logistik terorganisir, dan kemampuan rekayasa teknis. Perusahaan memanfaatkan asetnya, seperti rest area tol yang dijadikan posko dan ruas tol yang sedang dibangun untuk akses bantuan. Sinergi ini saling melengkapi: pemerintah daerah menyediakan data dan legitimasi operasi, TNI/Polri menyediakan keamanan dan tenaga, sementara Hutama Karya menyediakan fasilitas, material, dan keahlian teknis. Hasilnya adalah sebuah respons yang lebih terpadu dan powerful dibandingkan jika masing-masing pihak bekerja sendiri-sendiri.
Contoh nyata sinergi ini terlihat dalam pengelolaan sanitasi dan kesehatan di posko Langkat. Jadwal pembersihan fasilitas umum tiga kali sehari dijalankan bersama oleh tim HK Peduli dan unsur pemerintah daerah setempat. Layanan kesehatan juga diberikan oleh tim medis gabungan yang mungkin terdiri dari tenaga kesehatan perusahaan, puskesmas daerah, dan dinas kesehatan kabupaten. Mekanisme rujukan ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap juga mengandalkan jaringan pelayanan kesehatan pemerintah yang sudah ada, sehingga tidak membangun sistem dari nol.
Pada tingkat yang lebih makro, sinergi juga terjadi dalam pendistribusian bantuan skala provinsi. Hutama Karya menggunakan saluran Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWS) I, sebuah instansi pemerintah, untuk mengirimkan ratusan paket bantuan seperti kasur lipat dan selimut ke berbagai posko di Aceh. Hal ini menunjukkan kepercayaan antar-institusi dan efisiensi dalam menggunakan jaringan distribusi pemerintah yang sudah mapan untuk mempercepat penyaluran dan menjangkau wilayah yang lebih luas.
Kolaborasi yang solid ini pada akhirnya bermuara pada manfaat maksimal bagi masyarakat terdampak. Warga seperti Ahmad Syarif di Langkat dan Nur Aini di Pidie Jaya merasakan bantuan yang terorganisir, mulai dari tempat tinggal sementara, makanan, hingga upaya perbaikan jalan. Mereka tidak perlu berinteraksi dengan banyak pihak yang terpisah, karena layanan telah diintegrasikan dalam satu koordinasi. Efisiensi ini sangat berharga dalam situasi darurat dimana waktu dan ketepatan sasaran adalah segalanya.
Dengan demikian, pengalaman Hutama Karya dalam penanganan bencana di Sumatra tidak hanya menyoroti kontribusi korporasi, tetapi lebih penting lagi, mengukuhkan model kolaborasi nasional sebagai formula terbaik menghadapi bencana. Ketika BUMN, pemerintah daerah, dan TNI/Polri menyatukan langkah, sumber daya, dan komando, kapasitas penanggulangan bencana Indonesia secara keseluruhan menjadi jauh lebih kuat. Sinergi semacam ini patut dikembangkan dan diinstitusionalisasikan untuk menghadapi tantangan bencana di masa depan yang mungkin semakin kompleks.