Jakarta - Hasil audit lingkungan yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di lokasi bencana banjir bandang Sumatera Utara tidak hanya mengandalkan data satelit dan wawancara, tetapi juga bukti fisik yang sangat nyata. Menteri LHK Hanif Faisol Nurofiq mengungkapkan bahwa timnya menemukan sejumlah kayu gelondongan dan tumpukan kayu yang terbawa arus banjir. Yang menarik dari temuan ini adalah karakteristik kayu-kayu tersebut; sebagian besar bukanlah kayu dari pohon yang tumbang secara alami akibat terjangan air, melainkan kayu bekas potongan dan paling banyak berasal dari tumpukan kayu sisa pembukaan hutan.
Temuan kayu bekas tebangan ini menjadi penanda penting (smoking gun) yang menguatkan analisis sebelumnya tentang penyebab banjir. Keberadaan tumpukan kayu di sekitar daerah aliran sungai mengindikasikan bahwa tidak lama sebelum banjir terjadi, aktivitas pembukaan lahan (land clearing) masih berlangsung intensif di kawasan hulu DAS. Pembukaan hutan untuk dijadikan perkebunan, pertambangan, atau pertanian ini menghilangkan tutupan vegetasi permanen yang berfungsi menahan tanah dan memperlambat aliran air.
Ketika hujan deras dengan intensitas sangat tinggi datang, tanah di lahan yang terbuka tersebut menjadi sangat rentan terhadap erosi. Partikel tanah yang tererosi ini kemudian menutupi pori-pori tanah lainnya, mengurangi kemampuan infiltrasi, dan akhirnya meningkatkan volume aliran permukaan secara drastis. Air yang mengalir deras itu kemudian menghanyutkan segala yang dilewatinya, termasuk tumpukan kayu bekas tebangan yang tersisa di lokasi pembukaan lahan. Kayu-kayu inilah yang kemudian menjadi "proyektil" berbahaya yang memperparah kerusakan bangunan dan infrastruktur di hilir.
Temuan ini secara langsung mendukung pernyataan Menteri Hanif bahwa telah terjadi penurunan luas tutupan hutan di wilayah hulu. Proses pembukaan hutan yang meninggalkan sisa kayu gelondongan menunjukkan bahwa perubahan tutupan lahan bukanlah fenomena lama, tetapi mungkin masih berlangsung hingga saat-saat menjelang bencana. Hal ini mempertanyakan efektivitas pengawasan dan penegakan hukum terhadap izin pemanfaatan hutan dan lahan di daerah tersebut.
Selain menjadi bukti kerusakan lingkungan, kayu-kayu tersebut juga dapat menjadi petunjuk dalam proses penyelidikan lebih lanjut. Identifikasi jenis kayu, tanda tebangan, dan lokasi penemuannya dapat dirunut untuk melacak asal-usulnya dan siapa yang melakukan pembukaan lahan di lokasi tersebut. Data ini dapat sangat berguna bagi penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) lingkungan hidup atau kepolisian dalam mengusut tindak pidana kehutanan dan lingkungan.
Masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi bencana juga sering kali menjadi saksi hidup dari aktivitas pembukaan hutan ini. Kesaksian mereka, jika dikumpulkan dan diverifikasi secara hukum, dapat melengkapi bukti fisik yang sudah ada. Kolaborasi antara bukti material dan kesaksian manusia akan membangun kasus yang lebih kuat untuk menuntut pertanggungjawaban para pelaku perusakan lingkungan.
Temuan kayu gelondongan ini menyiratkan pesan yang jelas: bencana banjir bandang Sumut bukan semata-mata musibah alam (natural disaster), melainkan lebih tepat disebut sebagai bencana akibat ulah manusia (anthropogenic disaster). Faktor siklon tropis Senyar hanya menjadi pemicu eksternal, sementara akar masalahnya adalah kerusakan lingkungan yang sistematis di hulu. Oleh karena itu, solusinya pun harus menyentuh akar masalah tersebut, melalui penegakan hukum yang tegas terhadap perusak hutan dan perbaikan tata ruang yang menyeluruh, seperti yang sedang diupayakan oleh KLHK.