Peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Sarah Firdausi, menyatakan bahwa pembangunan infrastruktur harus diarahkan untuk mencapai ketahanan pangan di Indonesia.
Ia menekankan pentingnya hal ini mengingat harga pangan di negara ini masih tergolong tinggi dan sulit dijangkau oleh sebagian masyarakat.
"Selain berfungsi untuk menghubungkan berbagai wilayah di Indonesia, pembangunan infrastruktur seharusnya dapat mendukung pencapaian ketahanan pangan. Infrastruktur yang dibangun harus memberikan nilai tambah untuk mempermudah distribusi, sehingga akses dan ketersediaan pangan dapat meningkat," kata Sarah dalam keterangan pers di Jakarta, Rabu.
Sarah juga menyoroti tantangan perubahan iklim yang semakin dirasakan, serta masalah yang dihadapi sektor pertanian akibat luasnya wilayah Indonesia, yang menyebabkan biaya distribusi menjadi tinggi.
Biaya logistik pangan ini pada akhirnya akan ditanggung oleh konsumen, sehingga harga pangan di tingkat konsumen menjadi lebih mahal.
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN, biaya logistik di Indonesia tergolong sangat tinggi, mencapai 24 persen dari total produk domestik bruto (PDB). Sementara itu, Malaysia berada di angka sekitar 13 persen dan Singapura hanya 8 persen dari total PDB.
Selain tingginya biaya logistik, kenaikan harga bahan bakar minyak baru-baru ini menambah tantangan dalam distribusi pangan.
Wilayah yang terletak jauh dari pusat produksi pangan memerlukan biaya transportasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang lebih dekat.
Ditambah dengan faktor-faktor lain, seperti peningkatan harga pupuk, ketersediaan pangan menjadi semakin sulit dan harga yang harus dibayar oleh konsumen semakin meningkat.
Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur diharapkan dapat mencapai kestabilan harga dan ketersediaan komoditas pangan di seluruh Indonesia.
Sarah menekankan bahwa pembangunan infrastruktur harus difokuskan untuk mendukung terciptanya jalur distribusi bahan pangan yang lebih efisien.
Penyediaan infrastruktur yang sesuai akan menciptakan jalur distribusi pangan yang efisien antar daerah. Komoditas baik lokal maupun impor akan dapat didistribusikan secara merata ke berbagai wilayah di tanah air.
Hal ini akan berpengaruh pada kestabilan harga komoditas pangan serta ketersediaannya.
Selain itu, Sarah menambahkan bahwa pembangunan infrastruktur juga harus diarahkan untuk mendukung integrasi Indonesia dengan perdagangan internasional.
Indonesia tidak hanya perlu mendorong ekspor, tetapi juga harus bersiap untuk melakukan impor komoditas, baik yang berkaitan dengan pangan maupun bahan baku, guna meningkatkan efisiensi dan keterjangkauan harga.
Dengan menerapkan mekanisme ini, Indonesia akan semakin bersaing dalam sektor ekspor dan impor. Harga barang dan komoditas akan disesuaikan dengan mekanisme internasional, sehingga tidak ada pihak yang dapat memonopoli barang atau komoditas tertentu.
Dengan semakin lancarnya arus barang dan komoditas yang masuk dan keluar dari Indonesia, harga barang dan komoditas tersebut akan menjadi lebih terjangkau. Ini tentu memberikan dampak positif, di mana masyarakat dapat memenuhi kebutuhan mereka dengan komoditas berkualitas dengan harga yang lebih bersahabat, serta mendorong perkembangan suatu kawasan, ujar Sarah.
Pembangunan infrastruktur yang fokus pada ketahanan pangan juga akan membuka peluang investasi, karena kesiapan infrastruktur menjadi salah satu faktor penting bagi calon investor.
CIPS juga mendorong pemerintah untuk membangun jalur distribusi barang dan komoditas, baik pangan lokal maupun impor, melalui pengembangan infrastruktur yang sedang dilakukan.