Apakah pengurangan kuota nikel dalam rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) untuk perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) nikel tahun 2025 yang direncanakan oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM dapat mencegah terjadinya oversupply sehingga harga nikel dapat kembali naik dan stabil?
Rencana pemangkasan kuota bijih nikel tersebut telah disampaikan oleh Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, baru-baru ini. Saat ini, pihaknya sedang melakukan kajian mengenai total kebutuhan bijih nikel di dalam negeri serta kuota bijih nikel yang dapat diproduksi oleh 400 pemegang izin usaha pertambangan (IUP) nikel, agar tercipta keseimbangan.
“Jangan sampai RKAB yang ditetapkan terlalu tinggi, sementara penyerapan industri tidak sebanding, yang dapat menyebabkan harga menjadi rendah. Oleh karena itu, kami berkomitmen untuk menjaga kesinambungan dan stabilitas harga,” ungkap Bahlil dalam konferensi pers di Kantor Kesekretariatan Kementerian ESDM, Jumat (3/1/2025).
Ia menambahkan, dalam konteks supply dan demand, tidak selalu berarti bahwa semakin banyak kuota RKAB akan meningkatkan harga nikel. Jika kuota nikel meningkat tetapi harga justru turun, maka dampak negatifnya akan dirasakan oleh perusahaan industri nikel.
“Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dan yang ideal adalah memiliki RKAB yang banyak dengan harga yang baik. Namun, jika harga anjlok sementara RKAB terlalu banyak, maka situasi akan semakin buruk,” tuturnya.
Kebijakan tersebut jelas menimbulkan perdebatan di kalangan pelaku industri nikel serta para pengamat yang memperhatikan sektor ini. Mereka meminta pemerintah untuk lebih berhati-hati dan tepat dalam menetapkan kuota bijih nikel, agar tercipta keadilan, keseimbangan, dan keselarasan.
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, secara tegas menolak kebijakan pengurangan kuota bijih nikel tersebut, dengan menyatakan bahwa kebijakan ini tidak tepat.
“Pengurangan kuota produksi bijih nikel tidak hanya akan mengakibatkan penurunan pendapatan bagi penambang nikel, tetapi juga akan mengurangi pemenuhan kebutuhan smelter yang ada, sehingga mereka terpaksa melakukan impor,” ungkap Fahmy kepada Nikel.co.id kemarin.
Ia menambahkan bahwa impor akan mengakibatkan hilangnya potensi pendapatan bagi Indonesia. Dengan alasan apapun, termasuk untuk mencegah oversupply demi meningkatkan dan menstabilkan harga nikel, pemangkasan kuota tetap tidak tepat. Hal ini dikarenakan Indonesia bukan satu-satunya negara yang memproduksi nikel, masih ada negara lain yang juga berperan.
“Jika Indonesia mengurangi produksi bijih nikel, sementara negara lain tetap meningkatkan suplai, maka situasi tersebut tidak akan berubah,” jelasnya.
Fahmy juga menekankan bahwa cadangan nikel Indonesia masih sangat besar dan merupakan yang terbesar di dunia. Oleh karena itu, sebaiknya penjualan bijih nikel dari penambang dalam negeri ke smelter tidak dibatasi kuota, sesuai dengan permintaan pasar industri smelter.
“Hal ini penting untuk memenuhi kebutuhan smelter terlebih dahulu. Smelter dibangun untuk meningkatkan nilai tambah dan menghasilkan produk turunan nikel. Dengan adanya pengurangan kuota bijih nikel, produksi produk olahan nikel akan menurun, yang pada gilirannya akan mengurangi pendapatan di Indonesia,” tegasnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, menekankan kepada pemerintah untuk lebih teliti dalam menilai situasi dan kondisi di tengah meningkatnya permintaan bijih nikel, sementara pasokannya justru berkurang.
“Permintaan meningkat, tetapi persetujuan untuk produksi dari pemerintah justru menurun. Kami sendiri merasa bingung mengenai siapa yang mengusulkan pengurangan hingga 150 juta ton, padahal kebutuhan kami diperkirakan akan meningkat,” kata Meidy dalam program Market Review IDX Channel, Jumat (27/12/2024).
Ia juga mengingatkan bahwa rencana pembatasan kuota bijih nikel pada tahun 2025 dapat memberikan dampak signifikan terhadap kebutuhan industri nikel, terutama bagi smelter yang sudah beroperasi maupun yang masih dalam tahap konstruksi.
Saat ini, terdapat 49 smelter yang telah beroperasi dan memerlukan sekitar 232 juta ton bijih nikel per tahun untuk proses pirometalurgi. Selain itu, terdapat 36 smelter yang masih dalam tahap konstruksi yang membutuhkan sekitar 158 juta ton bijih nikel untuk produksi.
“Smelter yang sedang dalam tahap konstruksi ini akan segera beroperasi dan memerlukan pasokan bijih nikel yang memadai, baik untuk proses pirometalurgi maupun hidrometalurgi,” jelasnya.
Untuk persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) perusahaan Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel tahun 2025, pemerintah telah menyetujui sekitar 246 juta ton, sementara kebutuhan bijih nikel terus meningkat dan diperkirakan mencapai sekitar 400-500 juta ton.
Ketua Indonesian Mining Institute (IMI), Prof. Irwandy Arif, dalam program Closing Bell di CNBC Indonesia pada Jumat (3/1/2025), menyampaikan bahwa cadangan nikel Indonesia saat ini mencapai 5 miliar ton, yang diperkirakan dapat bertahan hingga 10 tahun ke depan.
Dalam konteks ini, terdapat 49 smelter RKEF dan 6 smelter HPAL yang telah beroperasi. Selain itu, terdapat sekitar 36 smelter yang sedang dalam tahap konstruksi, yang ketika beroperasi nantinya akan memerlukan konsumsi bijih nikel sekitar 185 juta ton.
Dengan demikian, kebutuhan nikel pada tahun 2024 diperkirakan mencapai 300 juta ton, ditambah dengan 185 juta ton, sehingga totalnya sekitar 485 juta ton, mendekati 500 juta ton untuk kebutuhan tahun 2025.
Namun, pasokan nikel pada tahun 2025 diperkirakan akan berkurang, berdasarkan persetujuan RKAB pemerintah kepada perusahaan tambang nikel yang hanya mencapai 246 juta ton, sementara kebutuhan diperkirakan mencapai 500 juta ton. Jika dihitung, selisih antara 500 juta ton dan 246 juta ton adalah 254 juta ton, yang menunjukkan bahwa Indonesia akan mengalami kekurangan pasokan bijih nikel untuk smelter sebesar 254 juta ton.
“Cadangan kita hanya 5 miliar ton dari nikel saprolit dan limonit yang digunakan untuk stainless steel dan baterai. Jadi, cadangan nikel Indonesia hanya akan bertahan selama 10 tahun,” ungkap Prof. Irwandy dengan penuh keyakinan.